Jakarta, CNBC Indonesia – Neraca perdagangan Indonesia kembali menorehkan surplus Rp 2,41 miliar pada November 2023. Ini merupakan surplus ke-43 kalinya sejak Mei 2020.
Namun, nilai surplus perdagangan Indonesia turun jika dibandingkan US$ 3,48 miliar pada Oktober 2023. Bahkan surplus ini jauh menurun, jika dibandingkan dengan dari US$ 5,10 miliar pada bulan yang sama tahun 2022. Capaian surplus pada November ini berada di bawah perkiraan pasar. Pasar memperkirakan surplus neraca perdagangan Indonesia di bulan November sekitar US$ 3 miliar.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini mengatakan surplus kali ini sebenarnya lebih rendah dibandingkan sebelumnya. Hal ini seiring dengan penurunan ekspor yang terjadi, imbas penurunan harga komoditas internasional.
“Surplus neraca perdagangan lebih rendah dibandingkan dengan bulan yang sama tahun lalu,” ujarnya dalam rilis BPS, dikutip Senin (18/12/2023).
Kepala Ekonom CNBC Indonesia Anggito Abimanyu mengungkapkan penurunan surplus perdagangan Indonesia di bulan November dan keungkinan Desember disebabkan oleh factor eksternal, yakni penurunan permintaan dunia menyebabkan penurunan Indeks Harga Perdagangan Internasional (IHPI) dan gejolak nilai tukar yang menyebabkan ketidakpastian perdagangan.
IHPI mengalami penurunan dari 175,2 pada Oktober 2023, menjadi 174,5 pada November 2023. Adapun, penguatan nilai tukar dari Rp 15.916 per dolar AS di bulan oktober 2023 menjadi Rp 15.384 per dolar AS di bulan November 2023. Selain itu, Anggito melihat faktor geopolitik juga mempengaruhi kinerja perdagangan Indonesia.
“Faktor geopolitik, Rusia-Ukraina dan Timur tengah juga menjadi sebab. Disamping itu faktor “wait and see” dari mitra dagang Indonesia menunggu kepastian Pemilu 2024,” kata Anggito.
Namun demikian, dia melihat adanya pengaruh dari faktor internal pada neraca perdagangan Indonesia. Anggito menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia masih terbatas pada level 5%. Ini artinya pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dibawah potensi optimal antara 5-6% per tahun.
Hal ini tercermin dalam rasio investasi yang belum beranjak dari tingkat 30% terhadap PDB. Kemudian, dia mencatat kontribusi sektor manufaktur tahun 2022 sudah dibawah 20% dari PDB. Kontribusi manufaktur yang menurun ini diterjemahkan sebagai ‘deindustrialisasi’.
“Dalam beberapa tahun ini telah terjadi deindustrialisasi dan penurunan daya saing produk ekspor manufaktur Indonesia di pasar dunia,” ungkapnya.
Anggito melihat ekspor Indonesia akan meningkat apabila tidak dilakukan larangan ekspor komoditi pertambangan umum.
“Kebijakan larangan atau proteksi perdagangan tidak hanya mempengaruhi kinerja ekspor dan neraca perdagangan, namun juga berkurangnya potensi pendapatan negara apabila diterapkan hambatan tarif. Belum lagi penerapan bea masuk produk ekspor Indonesia di negara-negara mitra dagang sebagai “balasan” kebijakan larangan ekspor,” ujarnya.
Pada tahun depan, Anggito menilai Indonesia perlu mengantisipasi lambatnya pemulihan ekonomi dunia dan harga-harga komoditas dunia yang terus melandai.
“Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah reformasi di sektor perdagangan, penerapan bea keluar produk hilirsasi, dan perluasan pasar di luar pasar tradisional ASEAN, Tiongkok dan India,” kata Anggito.
Selain itu, dia menegaskan pemerintah harus memberikan insentif bagi sektor industri manufaktur agar tetap meningkatkan produksinya agar Indonesia tidak terjerat pada gejala deindustrailisasi dan deeksportisasi. https://mesintik.com/