Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan dunia masih akan tergantung dengan sumber daya fosil seperti batu bara sebagai sumber energi, meskipun sama-sama mengejar target Net Zero Emissions (NZE).
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, sumber energi batu bara akan sulit ditinggalkan sepenuhnya karena artinya harus ada sumber energi pengganti yang sama jumlah pasokan dan keandalannya dengan batu bara.
Sementara di sisi lain, setiap negara juga memiliki keterbatasan pasokan energi penggantinya, seperti yang dialami Jepang dan Korea Selatan.
Saat ini pemanfaatan batu bara di Jepang maupun Korea masih sebanyak 30% dari total pemanfaatan energi mereka. Bila mereka menghentikan batu bara, berarti harus ada sumber energi lainnya yang bisa menggantikan batu bara sebesar itu.
“Jepang yang angkanya sekarang 20% atau 30% dari batu bara. Terus berhenti? Kan tidak mungkin. (Kalau) diganti gas, gasnya juga tidak ada. Kita juga demikian. Korea juga sama. Tapi semua kan bergerak,” ungkap Dadan, dikutip Senin (18/12/2023).
Namun demikian, Dadan mengungkapkan saat ini semua negara bergerak, termasuk Indonesia untuk bisa mengurangi secara bertahap pemanfaatan sumber daya fosil yang dinilai menyumbang emisi udara yang besar.
“Mereka geraknya bukan dalam arti saya akan hilangkan batu bara, tapi saya akan NZE di tahun 2050. Mungkin PLTU-nya masih ada,” tambahnya.
Tercatat, saat ini produksi batu bara Indonesia terus mengalami peningkatan. Kementerian ESDM mencatat, produksi batu bara Indonesia sampai pada 18 Desember 2023 menembus 729,96 juta ton atau 105,11% dari target produksi nasional dalam APBN 694 juta ton.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Indonesia Mining Association (IMA) Ezra Leonard Sibarani mengatakan, jika merujuk pada data cadangan dari Kementerian ESDM, jika produksi batu bara diasumsikan 700 juta ton per tahun, cadangan batu bara baru akan habis 47-50 tahun ke depan.
Jika dipakai sendiri untuk kebutuhan dalam negeri yang diproyeksi 200 jutaan per tahun dengan kalkulasi tren peningkatan Electric Vehicle, umur cadangan batu bara bisa sampai 150 tahun.
“Jadi masih panjang dan kalau kita melihat 2060 NZE, berarti saat itu masih ada batu bara yang banyak. Nah ini mau diapakan,” kata Ezra dalam Sarasehan bertajuk “Peran Strategis Batu Bara dalam Transisi Energi”, di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Jumat (15/12/2023).
Saat ini, kata Ezra, tantangan dalam transisi energi menuju pemanfaatan energi baru terbarukan adalah biaya yang dibutuhkan sangat besar, mencapai Rp3.500 triliun. Kebutuhan dana yang besar untuk mencapai target dekarbonisasi atau Net Zero Emissions (NZE) pada 2060 salah satunya untuk memensiunkan banyak pembangkit listrik bertenaga batu bara.
Padahal pembangkit bisa tetap dioperasikan dengan menggunakan teknologi baru yang lebih ramah lingkungan. “Dengan masih adanya batu bara dan biaya yang mahal untuk transisi energi, kenapa tidak tetap memanfaatkan batu bara,” kata dia.
Nah, karena potensi batu bara yang besar, IMA merekomendasikan untuk mempertimbangkan apakah bisa menggunakan batu bara lebih dari 2060. Selain karena batu bara mempunyai peran penting, biaya transisi energi dengan memanfaatkan Energi Baru Terbarukan sangat besar.
“Kita harus mempertimbangkan baik-baik, jangan sampai kita utang lebih banyak ke anak cucu,” katanya.
Menurut Ezra, pemerintah perlu mempertimbangkan program jangka pendek dan panjang untuk penggunaan batu bara di PLTU secara bersih sambil mempertimbangkan pembiayaan EBTKE secara bertahap.
“Jadi konsepnya clean coal. Kalau bisa pemerintah bisa pertimbangkan hal ini jadi yang dikurangi emisinya. Jadi jangan sampai memberatkan keuangan negara juga jangan terlalu cepat transisi sehingga apa yang kita punya bisa dipakai secara maksimal,” kata Ezra. https://buerinas.com/